Perjalanan Panjang Demi Memasak Tongseng

Muhammad Rayhan
5 min read2 days ago

--

|#25|: Kisah perjuangan saya dan teman asrama mencari bahan masakan demi menghabiskan sisa daging hasil kurban.

Photo by Alex Hudson on Unsplash

Daging hasil kurban kami, saya dan teman-teman asrama, masih tersisa banyak. Saat siang tadi, sembari membersihkan isi kulkas yang telah lama tidak dicuci, kami mengecek daging yang masih tersimpan di sana. Tak kami sangka, ternyata daging yang tersimpan sejak hari raya kemarin, masih tersisa dua sampai tiga kilogram, perkiraan kami. Itu belum termasuk tulang-tulang yang masih tertempel daging. Mungkin, jika ditotalkan, bisa sampai kurang-lebih lima kilogram.

Ketika mengetahui daging hasil kurban masih tersisa banyak, sontak kami terpikirkan untuk mengolahnya menjadi masakan yang belum pernah kami coba. Setelah dicari-cari, akhirnya pilihan kami jatuh pada tongseng daging sapi.

Kami pun berbagi tugas. Saya dan satu teman saya — sebut saja namanya Ruhiyan — mendapat tugas berbelanja bahan-bahan. Untuk lebih memastikan bahan apa saja yang perlu dibeli, kami pun mengecek kembali bahan apa yang masih tersedia di dalam dapur. Aha, kini kamu tahu bahan apa saja yang belum ada. Bahan-bahan tersebut, di antaranya bumbu tongseng instan, bawang-bawangan, tomat, santan kental, dan daun jeruk.

Karena kami, anak-anak asrama, sudah memiliki toko berlangganan untuk berbelanja bahan masakan, saya pun langsung terpikirkan untuk membelinya di sana. Namun, sebelum memutuskan pergi ke sana, saya ingin mengonfirmasinya dahulu kepada Ruhiyan apakah bahan yang kami butuhkan ada di sana. “Yan, kira-kira, bahan-bahan ini ada enggak ya di toko itu?”, tanya saya. Dengan yakinnya dia pun menjawab, “Kayaknya enggak ada deh, Mas. Itu kan tokonya enggak terlalu besar, ya walaupun lumayan lengkap, sih.”

Akhirnya, dengan dugaan yang disepakati bersama, kami mencari toko lain. Perjalanan membeli bahan masakan pun dimulai. Saat menyusuri jalan, kami melihat ada satu toko swalayan berwarna hijau yang cukup besar dan ramai. Tanpa berpikir panjang, kami pun mengunjungi toko itu. Nihil, ekspektasi tak bersepakat dengan kenyataan. Ternyata bahan utama yang kami cari (bumbu tongseng instan) tak ditemukan di sana. Kami tak ingin menyerah, perjalanan pun dilanjutkan.

Satu, dua, hingga tiga toko kami hampiri, tetapi tak kunjung jua mendapatkan hasil yang kami inginkan. Satu jam habis begitu saja tanpa membuahkan hasil. Enam kilometer jarak yang sudah ditempuhi belum mampu membuat kami membawa jinjingan belanjaan. Meskipun niat sudah hampir padam, kami tetap melawan rasa lelah untuk tidak menyerah. Keputusan kami yang terakhir sebelum menghentikan pencarian adalah mendatangi tempat yang menjadi andalan banyak orang: pasar daerah.

Benar saja, ketika sampai di sana, usaha kami tidak sia-sia. Kami berhasil menemukan bahan utama yang kami cari yang akhirnya kami dapatkan tepat saat kami hampir menyerah dan hendak meninggalkan tempat parkir dengan motor. Alhamdulillah, perjuangan kami membuahkan hasil.

Tak lama setelah membeli bahan utama, kami mengendarai motor kembali. Sebelum benar-benar pulang menuju asrama, kami ingin melengkapi belanjaan dengan membeli bahan-bahan dasar di toko berlangganan kami. Alih-alih kami bisa membeli seluruh bahan-bahan di satu tempat yang sama (tempat kami membeli bumbu instan), eh, kami lebih memilih membeli bahan lainnya di toko berlangganan kami.

Keputusan ini diambil bukan tanpa alasan. Selain karena harga di sana cukup tinggi, kami merasa kurang nyaman dengan penjualnya. Ia terkesan ketus dan memanfaatkan peluang dengan menaikkan harga seketika karena kami terlihat seperti lelaki polos yang tak tahu-menahu soal dunia masak-memasak. Semoga saja itu bukan kenyataan, alias hanya suuzan saya semata. Astagfirullah.

Kembali ke kisah. Setibanya di toko berlangganan, kami langsung mencari bahan lainnya yang belum dibeli, lalu membawanya ke meja kasir. Saat bahan-bahan ditimbang, saya bertanya kepada Bapak penjual, “Pak, di sini ada bumbu tongseng instan merek X enggak?”. Bapak terdiam sejenak — ia terlihat sedang mengingat-ingat barang yang kami cari ada atau tidak — , lalu menjawab, “Oh, ada, Mas. Itu di laci empat sebelah kiri, ya.”.

Saat saya cek, benar saja jawaban Bapak ini. Ternyata bumbu yang selama ini kami cari itu ada di toko yang sebelumnya kami ragu-ragukan ketersediaan dan keterlengkapannya, padahal kami menganggap toko ini sudah menjadi tempat berlangganan belanja kami. “Aduuuh, kenapa enggak dari awal ke sini aja, sih?”, keluh saya kepada diri.

Teman saya, Ruhiyan, pun merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak, seharusnya kami bisa menghemat waktu satu jam untuk berbelanja jika sedari awal sudah memilih toko itu. Terlebih, rasa keluh dan sesal makin bertambah ketika mengetahui bahwa harga bumbu tongseng instan di toko berlangganan kami lebih murah daripada toko di pasar daerah itu. Ya tidak besar, sih. Selisih harganya hanya Rp1.500,- per buah.

Sudah mana jarak yang ditempuh jauh, waktu untuk berkeliling lama, uang yang dikeluarkan lebih banyak, ditambah bertemu penjual yang enggak ramah pula. Lengkap sudah rasa keluh dan sesal kami. Kalau kami sedari awal ke sana, tentu yang akan terjadi adalah sebaliknya. Kami bisa menghemat waktu berbelanja satu jam lebih, menghemat uang, plus menghemat bensin pula. Hadeeuh!

Ya, mau bagaimana lagi. Bubur sudah menjadi nasi. Eh, terbalik. Maksudnya, nasi sudah menjadi bubur. Rasa keluh dan sesal pun saya cukupkan karena menyadari buat apa juga merasakan dua hal itu. Tak ada manfaatnya juga, bukan? Yang penting, setelah ini, saya dan teman bisa memetik pelajaran bahwa janganlah menilai sampul dari bukunya. Eh, terbalik lagi. Janganlah menilai buku dari sampulnya, karena apa yang tampak dari luar belum tentu menggambarkan sepenuhnya apa yang ada di dalamnya. Cakep.

Artinya, dalam konteks ini, saya tak boleh mengestimasi suatu toko lengkap atau tidaknya jika kita belum mengeceknya — atau bertanya — secara langsung.

Terlepas dari itu, saya dan teman-teman asrama tetap bersyukur karena berhasil membuat masakan tongseng yang enak dan gurih. Yeay. Nyam, nyam, nyam! Berikut fotonya.

Tongseng hasil masakan kami (dokumentasi pribadi)

Berikan tepukan/clappers (👏🏻) jika kalian suka dengan tulisan saya ini. Jangan lupa pula untuk menanggapi dengan berkomentar (💬) ketika ingin bertanya, merespons atau mengulas sesuatu, atau bahkan sebatas bertegur sapa. Kedua hal itu sangat berpengaruh bagi saya untuk terus semangat menulis setiap hari.

Jika kalian ingin terhubung dan lebih dekat dengan saya, kalian bisa menghubungi saya melalui DM Instagram atau mengirim surat elektronik melalui G-Mail pribadi. Oiya, boleh sekali jika kalian ingin mengapresiasi saya dengan memberikan tip melalui laman Saweria saya ini. Terima kasih!

--

--

Muhammad Rayhan

Seorang mahasiswa yang tengah membangun kebiasaan menuangkan ide dalam bentuk tulisan atau lisan.