Perenungan Masa-Masa Pindah Kuliah Episode 1

Muhammad Rayhan
4 min read4 days ago

--

|#31|: Perjalanan saya memperjuangkan satu pilihan berat: pindah kuliah di tengah jalan.

Photo by Element5 Digital on Unsplash

Saya merupakan orang yang sangat berdedikasi. Dedikasi ini telah menjadi bagian dari diri saya sejak masa SMA. Terdapat suatu momen yang memperkuat sikap ini dalam diri saya. Ketika banyak orang menganggap keputusan saya untuk berpindah dari kampus unggulan sebagai tindakan yang tidak masuk akal, saya justru meyakini untuk mengejar impian yang hampir terlupakan dengan ambisi tanpa gengsi. Dengan tekad yang mendalam, saya memutuskan untuk pindah kuliah dari kampus yang cukup ternama menuju kampus kelas medioker.

Memang wajar banyak orang berpikir bahwa keputusan saya ini konyol. Bagaimana tidak, saya berkesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi di kampus bergengsi di Indonesia, tetapi saya malah meninggalkannya. Di sisi lain, orang-orang pun tahu bahwa jalur masuk kampus yang saya ikuti adalah jalur mandiri, yang artinya saya harus membayar sejumlah uang yang besar sebagai syarat masuk setelah dinyatakan lolos seleksi. Memang benar, orang tua saya mengeluarkan puluhan juta hanya untuk kuliah saya.

Namun apa daya, sikap dedikasi untuk mengejar mimpi yang terkubur terus menghantui saya untuk mewujudkannya. Akhirnya, dengan pertimbangan yang dipikirkan matang-matang, saya berani mengambil pilihan untuk menempuh pendidikan tinggi dari awal.

Kisah ini bermula saat saya semester empat di kampus pertama saya, Universitas Brawijaya (UB). Pada masa UAS semester itu, saya merasa sangat bodoh karena hanya mampu mengerjakan sedikit soal ujian. Hal ini membuat saya merasa sangat khawatir dan cemas akan masa depan. Saya berpikir bahwa semester kuliah berikutnya pasti akan lebih sulit dibanding saat ini.

“Waduh, sedikit banget soal yang bisa gw kerjain. Masa dari puluhan soal, gw cuma bisa ngerjain enggak sampai lima. Gimana sih, Han? Gimana coba semester-semester berikutnya kalau sekarang aja masih kesulitan? Toh pasti matkul-matkul di semester berikutnya itu berkaitan dengan apa yang dipelajari sekarang, artinya apa yang gw pelajari sekarang merupakan fondasi untuk ilmu-ilmu berikutnya,” pikir saya secara berlebihan.

Apakah pikiran tersebut lewah atau tidak, saya tidak begitu yakin. Namun, saya bisa merasa demikian mungkin karena kurang serius dalam menekuni jurusan yang saya ambil. Saya menyadari alasan mengapa saya bisa berpikir seperti itu. Pada dasarnya, program studi yang saya ikuti saat itu bukanlah pilihan saya sesungguhnya. Saya memilih program studi tersebut hanya untuk menunjukkan kepada orang tua saya bahwa saya telah diterima di perguruan tinggi. Di tempat bergengsi pula.

Di sisi lain, saya tidak diberi kesempatan untuk mengejarnya lagi di tahun depan oleh orang tua. Dengan kata lain, saya tidak diizinkan tahun jeda (gapyear).

Pada awalnya, saya merasa senang bisa diterima di kampus ternama. Akan tetapi, ternyata itu tak berlangsung lama. Saya merasa kesulitan mengikuti perkuliahan karena sejatinya saya tidak menyukai prodi tersebut. Kendatipun saya telah mencoba berbagai metode untuk memahami materi lebih baik, hasilnya tetap tidak memuaskan. Selama empat semester berkuliah, saya belum pernah mencapai Indeks Prestasi di atas tiga. Saya khawatir. Saya cemas.

Hingga pada satu waktu, saya tersadar kembali dengan impian yang sempat terkubur.

“Han, lu kan dari dulu sebenarnya suka banget kan sama dunia pemrograman. Pas masa-masa pendaftaran kuliah pun, lu selalu daftar jurusan teknik informatika atau sejenisnya. Cuma sayangnya memang enggak rezeki aja, enggak diterima di mana-mana. Gimana kalau sekarang dicoba lagi? Gimana kalau lu coba kejar impian awal yang sempat terkubur itu?” kurang-lebih begitu sanubari membisiki saya.

Dengan rasa kecewa pada diri sendiri terhadap program studi saat ini dan tekad yang kuat untuk merealisasikan impian, saya mulai menyusun rencana tersebut dengan sangat matang.

Langkah pertama yang diambil adalah berkonsultasi dengan empat orang ahli di bidangnya: psikologi, pengalaman pindah kuliah, pengetahuan akademik, dan orang terdekat. Konsultasi dengan psikolog diperlukan untuk mendapatkan arahan dalam membuat perencanaan besar dan rencana kontingensi. Pengalaman pindah kuliah diperlukan untuk memahami prosesnya. Pengetahuan akademik penting untuk mengambil langkah yang tepat setelah diterima di jurusan yang diinginkan. Terakhir, orang terdekat penting untuk mengetahui cara terbaik menyampaikan hal ini kepada orang tua.

Namun, perjalanan ini belum selesai. Dedikasi saya untuk mengejar mimpi dan berjuang di dunia pemrograman adalah komitmen seumur hidup. Langkah-langkah awal sudah saya ambil, tetapi masih banyak tantangan yang harus dihadapi dan pelajaran yang harus dipelajari. Keputusan yang saya ambil ini adalah sebuah awal baru yang penuh dengan harapan dan tekad. Bagaimana perjalanan saya selanjutnya? Nantikan perenungan berikutnya, saat saya akan berbagi lebih banyak tentang lika-liku perjuangan, pelajaran hidup, dan bagaimana dedikasi terus menuntun saya.

Bersambung…

Berikan tepukan/clappers (👏🏻) jika kalian suka dengan tulisan saya ini. Jangan lupa pula untuk menanggapi dengan berkomentar (💬) ketika ingin bertanya, merespons atau mengulas sesuatu, atau bahkan sebatas bertegur sapa. Kedua hal itu sangat berpengaruh bagi saya untuk terus semangat menulis setiap hari.

Jika kalian ingin terhubung dan lebih dekat dengan saya, kalian bisa menghubungi saya melalui DM Instagram atau mengirim surat elektronik melalui G-Mail pribadi. Oiya, boleh sekali jika kalian ingin mengapresiasi saya dengan memberikan tip melalui laman Saweria saya ini. Terima kasih!

--

--

Muhammad Rayhan

Seorang mahasiswa yang tengah membangun kebiasaan menuangkan ide dalam bentuk tulisan atau lisan.