Merasakan 23 Hari Tanpa Media Sosial

Muhammad Rayhan
4 min readJun 20, 2024

--

|#21|: Hidup tanpa media sosial agak-agaknya dapat membuat kualitas hidup kita lebih baik.

Photo by camilo jimenez on Unsplash

Pada tanggal 23 Mei 2024 yang lalu, saya dihadapkan pada sebuah keputusan berat. Keputusan itu, jika diambil, bisa mengganggu identitas saya sebagai anggota generasi Z, menurut beberapa orang. Di sisi lain, jika tidak diambil, hal tersebut dapat mengacaukan rutinitas harian saya dan mungkin akan sulit untuk dikontrol. Keputusan itu adalah untuk menghapus akun Instagram saya.

Awalnya, saya ragu untuk mengambil langkah ini. Di sisi lain, saya menyadari bahwa masalah utamanya bukan pada Instagram, tetapi pada diri saya sendiri. Saya mengerti bahwa menghapus akun bukanlah solusi yang sempurna yang akan menyelesaikan semua masalah. Namun, karena saya masih belum bisa mengontrol penggunaannya, lebih baik saya menghindari kekacauan sehari-hari akibat terlalu asyik berselancar di Instagram. Jadi, dengan berat hati, saya memutuskan untuk tetap menghapus akun tersebut.

Banyak pertimbangan menghampiri saya, baik kekurangan maupun kelebihan, sebelum memutuskan hal ini. Perihal kekurangan, kekhawatiran yang mendominasi adalah ketakutan akan ketinggalan informasi, baik itu informasi penting, kenalan, teman-teman, atau sekadar isu yang sedang viral. Hal ini cukup membuat saya gundah dan berpikir berkali-kali sebelum memutuskan.

Perihal kelebihan, tentu utamanya adalah saya merasa bisa hidup lebih lega dan tenang, tanpa ada distraksi yang benar-benar sulit dikendalikan. Terlebih, saya pun bisa lebih fokus pada hal lain yang lebih esensial dan produktif. Ini juga bisa membuat saya perlahan-lahan membenahi rentang perhatian (attention span) menjadi lebih lama lagi.

Benar saja ekspektasi saya. Setelah menghapus akun Instagram, hidup saya jauh lebih damai, tenteram, dan lapang. Fokus dan perhatian saya terhadap sesuatu yang sedang dikerjakan pun terasa lebih awet. Distraksi minim, pekerjaan menjadi lebih cepat terkirim, dan hubungan dengan diri sendiri pun menjadi lebih intim. Selama dua puluh tiga hari itu rasa-rasanya saya bisa hidup dengan mindfullness.

Keuntungan nyata dari penghapusan akun Instagram ini adalah saya mampu memaksa diri untuk menulis setiap hari. Alhamdulillah, tanpa distraksi berarti, satu kegiatan produktif dapat dilaksanakan setiap hari tanpa henti. Selain itu, dampak positif lainnya adalah saya lebih bisa melahap sesuatu yang lebih tuntas dan lengkap (tidak sepotong-potong) serta mendalam, seperti membaca di Medium atau menonton video panjang di YouTube.

Namun ternyata, itu semua tak berlangsung lama. Ada satu hal yang membuat saya berpikir untuk mengembalikan akun Instagram. Tentu hal ini saya pikirkan setelah mengetahui bahwa pihak Instagram memberi kita waktu 30 hari untuk berpikir ulang sebelum akun benar-benar dihapus. Pada masa-masa saya rajin menulis setiap hari, ingin rasanya diri ini menjangkau lebih banyak orang untuk membaca tulisan Medium saya. Salah satu cara yang tebersit saat itu — dan memang menurut saya efektif — adalah menyebarkannya di akun Instagram pribadi.

Akhirnya, dengan kemantapan hati dan segala pertimbangan yang dipikirkan matang-matang, setelah 23 hari tidak merasakan suasana Instagram, saya memutuskan untuk mencabut penghapusan akun Instagram. Beberapa upaya, seperti membatasi waktu penggunaan dengan bantuan fitur bawaan dari Samsung dan Instagram serta melewati info yang dilampirkan setengah-setengah ketika membukanya, coba saya tanam dan pegang kuat-kuat.

Reaksi saya pertama kali setelah membuka Instagram kembali adalah kaget, cemas, dan sesak hati. Jujur, saya merasa tidak nyaman dengan gempuran informasi instan dalam waktu singkat yang menyerbu melalui layar ponsel. Agaknya otak tidak siap menampung dan memfilter segala informasi yang merangsek masuk. Karena hal itu, diri ini pun sempat terpikirkan untuk menghapus aplikasi Instagram.

Walaupun demikian, saya masih mencoba mengendalikan diri untuk tetap pada koridor yang ditentukan di awal. Satu, dua, hingga tiga hari berlalu, saya masih bisa mengendalikan diri meskipun banyak godaan menghampiri. Namun keesokan harinya, setelah empat hari akun Instagram dibuka kembali, hal yang saya takutkan terjadi: saya terlampau lama dan terlena bermain-main Instagram.

Suasana hati menyesal dan merasa bersalah pun kembali datang menjangkiti. Huft, tidak enak sekali rasanya di situasi seperti ini. Dengan kegundahan hati dan demi kebaikan diri, akhirnya saya memutuskan untuk kembali menghapus aplikasi Instagram. Ah, rasanya diri ini masih harus melalui rintangan berat dan besar dalam hidup. Kapan, ya, saya bisa merdeka dan mampu mengendalikan diri sepenuhnya atas hal-hal yang membuat tak nyaman? Hmm…

Sebenarnya, ada satu momen yang sering kali membuat saya terlena bermain medsos, bahkan terkadang mengabaikan hal lain yang penting. Momen ini adalah ketika saya sedang lelah berpikir atau fisik. Pada kala seperti itu, diri ini rasanya ingin membalas dendam atas segala kepusingan yang telah menyerang. Alih-alih saya beristirahat dengan tidur, eh, saya malah lebih memilih melakukan kesenangan semata yang membuat kufur.

Ah, sudahlah. Sudah tengah malam juga. Empat menit lagi akan berganti hari. Cukup. Yang penting, saat ini saya sudah merasa lega dan leluasa kembali isi hatinya. Esok-esok, saya harus cari strategi bagaimana mengendalikan diri terhadap medsos dan meregulasi penggunaannya. Tentu, ini juga berlaku untuk hal-hal lainnya yang membuat saya merasa tidak nyaman.

--

--

Muhammad Rayhan

Seorang mahasiswa yang tengah membangun kebiasaan menuangkan ide dalam bentuk tulisan atau lisan.