REFLEKSI
Mengapa Kampusku Menyebalkan?
|#63|: Tulisan selingan di kala otak dan perasaan memuncak akibat masalah “perkuliahan”
Tulisanku kali ini kukhususkan sebagai pelampiasan rasa sebal yang sudah memuncak. Kampusku, tempat yang seharusnya menjadi ruang berkembang dan belajar, justru membuatku merasa jenuh, kesal, dan frustrasi. Aku benar-benar lelah dengan situasi yang terus berulang dan menguji kesabaranku di setiap sudut.
Baca di sini bagi kalian yang belum berlangganan Medium, ya.
Pertama-tama, soal teman kelompok. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Saat ada tugas kelompok, rasanya seperti hanya namanya saja “kelompok”, tetapi pada kenyataannya, semua beban kerja jatuh ke satu atau dua orang.
Koordinasi? Jangan harap. Kadang aku bertanya-tanya, apakah mereka sadar bahwa nilai tugas ini menentukan masa depan akademis kita? Ketika mereka hilang tanpa kabar dan tak ada inisiatif sama sekali, mau tak mau aku jadi yang paling aktif. Tapi apa artinya tugas kelompok kalau yang bergerak cuma satu orang?
Belum lagi masalah kualitas dosen. Ini bagian yang paling bikin aku frustrasi. Bagaimana aku bisa paham kalau konsep dasarnya saja tidak dijelaskan secara gamblang? Mereka seperti menganggap remeh pemahaman mahasiswa. Bukannya menjelaskan dari awal, mereka malah sibuk melompat-lompat ke bagian-bagian yang menurut mereka penting, padahal fondasinya saja kami belum mengerti.
Sering aku merasa seperti belajar sendiri seperti mencari materi di internet atau menonton video YouTube, semua itu kulakukan hanya agar bisa mengikuti ritme perkuliahan. Ini bukan sekadar soal belajar mandiri di luar kelas, yang pada dasarnya memang menjadi bagian dari tanggung jawab mahasiswa.
Namun, seiring semakin sering aku terpaksa mencari materi sendiri, muncul pertanyaan besar di benakku: Apa sebenarnya peran dan fungsi dosen dalam institusi pendidikan? Apakah mereka boleh begitu saja meninggalkan fungsi utamanya dengan alasan, “Supaya kalian belajar mandiri di luar kelas”?
Aku mengerti bahwa dosen juga punya kesibukan di luar mengajar — entah itu penelitian, proyek, atau kewajiban administratif lain. Tapi tetap saja, dong, mau sesibuk apa pun mereka, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagai pengajar harus dijalankan dengan semestinya.
Rasanya tidak adil ketika hanya mahasiswa yang dituntut untuk menjalankan kewajiban secara penuh, sementara dosen bisa berlindung di balik konsep belajar mandiri dan minim interaksi. Kalau semua beban belajar jatuh kepada mahasiswa tanpa arahan yang jelas, apa gunanya kita berada dalam sistem pendidikan formal?
Yang membuatku semakin frustrasi adalah ketika pertanyaan atau kebingungan yang muncul di kelas sering kali tidak dijawab dengan tuntas. Alih-alih dijelaskan secara rinci, justru kami disuruh mencari tahu sendiri. Hal ini membuatku merasa seperti terombang-ambing tanpa bimbingan. Dan saat hasil belajar kami tidak sesuai harapan, semua kembali kepada kami: “Kurang usaha” atau “Kurang inisiatif”. Seakan-akan, apa pun masalahnya, mahasiswa selalu menjadi pihak yang dipersalahkan.
Ya sudahlah. Mau bagaimana pun juga, pada akhirnya, aku sadar bahwa harapan untuk berkembang di kampus ini tidak seindah yang kubayangkan dulu. Tentu saja, tidak semua hal tentang kampusku selalu buruk. Tapi di saat-saat seperti ini, sulit sekali untuk fokus pada hal positif. Aku ingin mencintai proses ini, tapi kenyataannya, kadang aku hanya ingin semua ini cepat berakhir.
Berikan tepukan/clappers (👏🏻) jika kalian suka dengan tulisan saya ini. Jangan lupa pula untuk menanggapi dengan berkomentar (💬) ketika ingin bertanya, merespons atau mengulas sesuatu, atau bahkan sebatas bertegur sapa. Kedua hal itu sangat berpengaruh bagi saya untuk terus semangat menulis setiap hari.
Jika kalian ingin terhubung dan lebih dekat dengan saya, kalian bisa menghubungi saya melalui DM Instagram atau mengirim surat elektronik melalui G-Mail pribadi. Oiya, boleh sekali jika kalian ingin mengapresiasi saya dengan memberikan tip melalui laman Saweria saya ini. Terima kasih!