Mencoba Melawan Rasa Hampa dengan Menulis

Muhammad Rayhan
3 min read3 days ago

--

|#27|: Menghadapi suasana hati tak mengenakkan, lalu mencoba memaksa keluar darinya dengan cara baru.

Photo by Robo Wunderkind on Unsplash

Rasa itu datang lagi ke saya. Rasa yang membuat saya cukup kesulitan dan kewalahan menghadapinya. Rasa yang, seringnya, tiba di waktu yang kurang tepat; sesudah saya mendapatkan asupan energi untuk beraktivitas. Terkadang juga, rasa ini membuat saya tidak bergairah melakukan apa pun. Rasa tersebut adalah hampa.

Sejauh ini, saya mengidentifikasi diri sebagai seorang ekstrover. Saya mendapat energi setelah berinteraksi, bercerita, bersosialisasi, dan terutama saat berdiskusi secara mendalam dengan orang lain. Namun sayangnya, saya belum memanfaatkan karakter ini secara maksimal. Meskipun saya menyadari bahwa saya adalah ekstrover, saya cenderung menutup diri dan enggan memulai percakapan atau diskusi. Saya merasa belum sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan baru saya di Malang. Saya tidak memiliki teman dekat untuk berbagi cerita atau diskusi secara langsung. Saya juga tidak tahu pasti mengapa enggan untuk aktif mencari teman dekat. Entahlah. Rasa-rasanya, saya malas saja.

Situasi ini sangat berbeda dengan kehidupan pertemanan di kota asal saya, Indramayu. Di sana, saya memiliki lingkaran (circle) pertemanan yang sangat menyenangkan. Saat berkumpul (menongkrong), kami tidak hanya bertukar kabar, tetapi juga mendiskusikan berbagai topik mulai dari politik, hukum, pendidikan, hingga agama secara mendalam. Kami bertemu tidak hanya sekali atau dua kali sebulan, tetapi bisa dua atau tiga kali dalam sepekan. Terlebih, sekalinya menongkrong — yang dimulai dari waktu magrib atau isya—kami biasanya tidak mengakhiri obrolan sebelum pukul sebelas malam.

Betapa menyenangkannya memiliki lingkaran pertemanan seperti itu.

Sekali lagi, sayang seribu sayang, saya tidak (berusaha) mendapatkan situasi seperti itu di sini.

Dampaknya terasa ketika saya bertemu dengan seorang teman dekat yang sudah lama tidak bertemu — sebut saja dengan Rama. Seingat saya, kami terakhir bertemu sekitar delapan bulan yang lalu. Teman dekat saya ini kini tengah berkunjung ke Malang untuk mengikuti wisuda kelulusan sarjananya. Tentu saja, saya merasa sangat senang ketika mendengar kabar bahwa ia akan datang ke Malang. Saat bertemu, rasanya tidak berbeda jauh dengan suasana dahulu. Pertemuan kami yang hangat itu sarat akan obrolan dan diskusi, hingga kami pun baru tertidur pukul setengah satu dini hari.

Tak terasa, kini pertemuan hampir usai. Temanku kini sedang sibuk mengurusi keperluan wisudanya sembari menemui keluarganya yang baru datang di Malang. Seusai pertemuan saya dengan teman saya, saya memilih untuk tidur — karena memang mengantuk juga. Di sinilah perasaan tak mengenakkan itu muncul. Sebangunnya saya dari tidur, rasa-rasanya diri ini hampa dan ada sesuatu yang tiba-tiba pergi begitu saja sehingga membuat saya tidak bergairah beraktivitas. Situasi dan perasaan seperti ini, sejujurnya, sudah sering saya alami, dengan momen, faktor, dan dampak yang sama pula.

Namun, kini saya tak ingin rasa hampa ini terus menguasai diri. Saya ingin melawannya. Bagaimana caranya? Seperti yang sedang saya lakukan: menulis. Walaupun sadar bahwa suasana hati (mood) sedang tidak mendukung, saya harus memaksanya. Setelah dicoba, ternyata cukup efektif. Suasana hati saya perlahan-lahan stabil kembali. Aktivas pun bisa dilanjutkan sebagaimana mestinya.

Esok-esok, jika saya menemukan situasi seperti ini lagi, saya harus mencoba menulis. Karena cara ini, saya pun teringat kembali tulisan pertama saya. Di tulisan itu, saya mengatakan bahwa menulis adalah proses menuangkan isi hati dan pikiran. Dengan begitu, dalam tulisan ini dan ketika berada pada situasi hampa seperti ini, saya berupaya menuangkan isi hati agar lebih terurai, nyata, dan jelas, serta tidak mengawang. Tentunya, hal ini diimbangi juga dengan kita meniatkan agar hati bisa stabil dan tenang kembali.

Berikan tepukan/clappers (👏🏻) jika kalian suka dengan tulisan saya ini. Jangan lupa pula untuk menanggapi dengan berkomentar (💬) ketika ingin bertanya, merespons atau mengulas sesuatu, atau bahkan sebatas bertegur sapa. Kedua hal itu sangat berpengaruh bagi saya untuk terus semangat menulis setiap hari.

Jika kalian ingin terhubung dan lebih dekat dengan saya, kalian bisa menghubungi saya melalui DM Instagram atau mengirim surat elektronik melalui G-Mail pribadi. Oiya, boleh sekali jika kalian ingin mengapresiasi saya dengan memberikan tip melalui laman Saweria saya ini. Terima kasih!

--

--

Muhammad Rayhan

Seorang mahasiswa yang tengah membangun kebiasaan menuangkan ide dalam bentuk tulisan atau lisan.