Mengapa “Jika” dan “Maka” Tak Bisa Bergandengan dalam Satu Kalimat?

Muhammad Rayhan
6 min read6 days ago

--

|#24|: Memahami konjungsi dalam kalimat majemuk bertingkat dan menyingkap alasan mengapa “jika” dan “maka” tak bisa berada dalam satu kalimat.

Photo by Joshua Hoehne on Unsplash

Saya yakin, meskipun sudah banyak orang yang menjelaskan mengenai persoalan bahasa satu ini, tetap saja masih banyak orang yang belum tersentuh edukasi atau setidaknya penjelasan akan hal itu. Dalam lingkungan atau sekeliling kenalan saya pribadi pun, mungkin saja ada yang belum mengerti alasan di balik ini. Oleh karenanya, dengan menurunkan rasa ego dan mengedepankan sikap mau berbagi sesama, saya memutuskan untuk membahas topik ini dalam sudut pandang pribadi dengan penjelasan yang ringan dan logis.

Baik. Mari kita awali dengan mengenali kata “jika” dan “maka” terlebih dahulu. Menurut KBBI, definisi lema “jika” adalah kata penghubung untuk menandai syarat (janji). Terdapat banyak sinonim dari kata ini, di antaranya bila, kalau, dan apabila. Selanjutnya, KBBI mendefinisikan lema “maka” dengan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat, implikasi. Saya sulit menemukan sinonim atau kata yang bermakna persis untuk kata ini.

Dari dua kata yang didefinisikan oleh KBBI di atas, kita dapat menarik benang merah atau kesamaan, yaitu sama-sama kata penghubung. Tolong ingat baik-baik hal ini.

Mari kita sedikit beralih pembahasan menuju karakteristik salah satu jenis kalimat dalam bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal satu jenis kalimat yang cukup rumit: kalimat majemuk bertingkat atau kalimat kompleks. Mudahnya, jenis kalimat ini adalah kalimat yang terdiri dari induk kalimat (klausa bebas) dan anak kalimat (klausa terikat). Induk kalimat atau klausa bebas adalah potongan kalimat (klausa) yang menjadi elemen utama dari kalimat tersebut dan berpotensi menjadi kalimat tersendiri. Artinya, ia dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada klausa lain. Sementara, anak kalimat atau klausa terikat adalah potongan kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat lepas. Artinya, klausa ini memerlukan klausa utama untuk memberikan makna yang jelas.

Karena induk kalimat dapat berdiri sendiri, ini berarti kalimat tersebut harus terdiri atas sekurang-kurangnya subjek dan predikat serta tidak diawali dengan konjungsi intrakalimat — seperti ketika, jika, maka, dan agar. Sebaliknya, ciri anak kalimat adalah kalimat tersebut diawali dengan kata hubung intrakalimat sebagai subordinasinya.

Untuk lebih memudahkan pemahaman, mari kita ketahui contoh kalimat majemuk bertingkat atau kompleks dahulu.

Arini pergi ke pasar ketika Dita sedang nyenyak tertidur di sofa.

Dalam contoh di atas, terdapat dua klausa: “Arini pergi ke pasar” sebagai induk kalimat dan “ketika Dita sedang nyenyak tertidur di sofa” sebagai anak kalimat. Dalam hal ini, “Arini pergi ke pasar” sebagai induk kalimat dapat menjadi kalimat tersendiri — memisahkan diri dengan anak kalimatnya — karena sudah memenuhi syarat kalimat lengkap. Sementara, “ketika Dita sedang nyenyak tertidur di sofa” sebagai anak kalimat harus bergantung pada klausa “Arini pergi ke pasar” karena ia tak memiliki makna yang jelas dan tuntas jika memisahkan diri dari induknya.

Mari kita coba bagaimana jadinya jika induk dan anak kalimat berdiri sendiri.

Induk kalimat:

Arini pergi ke pasar

Anak kalimat:

Ketika Dita sedang nyenyak tertidur di sofa.

Pada induk kalimat, jika kita buat menjadi kalimat tersendiri, ia sudah cukup untuk memberikan informasi yang lengkap, jelas, dan tuntas karena setidaknya terdiri dari subjek dan predikat. Namun, hal itu tak berlaku untuk anak kalimat sebab jika berdiri sendiri, ia akan bermakna tidak jelas karena membutuhkan klausa utama untuk membuatnya hidup.

Sekarang, mari kita fokus kembali pada topik utama, yaitu penggunaan “jika” dan “maka” dalam satu kalimat. Dalam bahasa Indonesia, “jika” merupakan konjungsi yang digunakan untuk memperkenalkan sebuah kondisi atau syarat, sedangkan “maka” digunakan untuk menyatakan akibat atau hasil dari kondisi tersebut.

Ketika kita menggunakan “jika” dan “maka” dalam satu kalimat, ini berarti kita memasukkan dua klausa terikat atau anak kalimat dalam sebuah kalimat kompleks. Dengan kata lain, kalimat kompleks tersebut akan kehilangan induk kalimatnya karena kedua klausa berperan sebagai anak kalimat, mengingat keduanya sama-sama diawali oleh konjungsi.

Sebagai contoh:

Jika kamu belajar dengan tekun, maka kamu akan sukses.

Dalam contoh di atas, kita melihat terdapat dua klausa terikat yang masing-masing dihubungkan oleh “jika” dan “maka”. Karena hal ini, kita pun dibuat bingung, klausa mana yang berperan sebagai induk kalimat? Apakah “jika kamu belajar dengan tekun” atau “maka kamu akan sukses”? Tentu jawabannya adalah tidak ada klausa yang berposisi sebagai induk kalimat. Ingat, syarat sebuah kalimat menjadi kalimat induk adalah ia tidak diawali dengan konjungsi intrakalimat.

Lalu, bagaimana solusinya? Simpel. Ketika sudah mengetahui bahwa syarat sebuah induk kalimat adalah tidak diawali konjungsi intrakalimat, kita harus menghilangkan salah satu dari dua konjungsi yang ada pada kalimat tersebut. Ini bisa “jika” yang dihilangkan atau “maka” pun bukan masalah.

Jadi, kalimat yang telah dikoreksi:

Jika kamu belajar dengan tekun, kamu akan sukses.

atau

Kamu belajar dengan tekun maka kamu akan sukses.

Dengan begini, kita mengetahui bahwa “kamu akan sukses” (pada contoh satu) adalah induk kalimat dan “kamu belajar dengan tekun” (pada contoh dua) juga berperan sama. Alhasil, kita pun tidak kehilangan induk kalimat pada kalimat kompleks yang dicontohkan di atas.

Sebagai saran, jika susunan kalimatnya seperti contoh di atas, kita lebih baik memilih contoh satu karena ia lebih lazim. Dengan contoh ini juga, kita dapat memindahkan atau menukarkan posisi klausa bebas dan terikat satu sama lain — klausa bebas di awal dan terikat di akhir atau sebaliknya. Dengan begitu, ketika posisinya ditukar, menjadi:

Kamu akan sukses jika kamu belajar dengan tekun.

Namun, jika kita tetap ingin memilih contoh dua, kita bisa memodifikasinya sedikit menjadi:

Belajarlah kamu dengan tekun maka kamu akan sukses.

Satu hal yang perlu kita ketahui adalah contoh di atas — jika dan maka dalam satu kalimat — hanyalah satu dari sekian banyak kasus contoh dengan persoalan serupa. Banyak kasus contoh diksi konjungsi lain yang berlaku sama seperti jika-maka.

Misalnya, ketika-maka:

Ketika Rani telah tiba di rumah, maka Putra harus menjamukan teh untuknya.

Meskipun-tetapi:

Meskipun Haikal tidak lolos ujian, tetapi ia tidak menyerah begitu saja.

Agar-maka:

Agar kita dapat selamat dari bahaya, maka kita harus memohon kepada Tuhan.

Dengan solusi yang sama, ketiga contoh kalimat di atas dapat kita perbaiki masing-masing menjadi:

  • “Ketika Rani telah tiba di rumah, Putra harus menjamukan teh untuknya” atau “Putra harus menjamukan teh untuk Rani ketika ia telah tiba di rumah”.
  • “Meskipun Haikal tidak lolos ujian, ia tidak menyerah begitu saja” atau “Haikal tidak menyerah begitu saja meskipun tidak lolos ujian”.
  • “Agar kita dapat selamat dari bahaya, kita harus memohon kepada Tuhan” atau “kita harus memohon kepada Tuhan agar selamat dari bahaya”.

Memahami penggunaan konjungsi dalam kalimat majemuk bertingkat sangat penting untuk memastikan kalimat yang kita susun memiliki struktur yang benar dan makna yang jelas. Dalam bahasa Indonesia, konjungsi seperti “jika” dan “maka” tidak dapat digunakan bersama dalam satu kalimat karena keduanya merupakan konjungsi intrakalimat yang masing-masing memerlukan klausa bebas untuk membentuk kalimat yang lengkap.

Penggunaan dua konjungsi intrakalimat dalam satu kalimat akan menyebabkan kalimat tersebut kehilangan induk kalimatnya, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai kalimat yang benar secara gramatikal. Oleh karena itu, untuk membentuk kalimat yang benar, salah satu konjungsi harus dihilangkan sehingga klausa bebas dapat berdiri sendiri sebagai induk kalimat, sementara klausa lainnya berperan sebagai anak kalimat.

Fenomena serupa juga berlaku pada konjungsi intrakalimat lain seperti “ketika-maka,” “meskipun-tetapi,” dan “agar-maka.” Pada contoh-contoh tersebut, penggunaan dua konjungsi intrakalimat dalam satu kalimat menyebabkan ketidakjelasan karena tidak ada klausa yang berfungsi sebagai induk kalimat. Solusinya adalah dengan menghilangkan salah satu konjungsi sehingga kalimat menjadi jelas dan memiliki struktur yang benar. Memahami prinsip ini membantu kita menyusun kalimat yang efektif dan jelas dalam bahasa Indonesia, serta menghindari kesalahan yang umum terjadi dalam penggunaan konjungsi.

Berikan tepukan/clappers (👏🏻) jika kalian suka dengan tulisan saya ini. Jangan lupa pula untuk menanggapi dengan berkomentar (💬) ketika ingin bertanya, merespons atau mengulas sesuatu, atau bahkan sebatas bertegur sapa. Kedua hal itu sangat berpengaruh bagi saya untuk terus semangat menulis setiap hari.

Jika kalian ingin terhubung dan lebih dekat dengan saya, kalian bisa menghubungi saya melalui DM Instagram atau mengirim surat elektronik melalui G-Mail pribadi. Oiya, boleh sekali jika kalian ingin mengapresiasi saya dengan memberikan tip melalui laman Saweria saya ini. Terima kasih!

--

--

Muhammad Rayhan

Seorang mahasiswa yang tengah membangun kebiasaan menuangkan ide dalam bentuk tulisan atau lisan.